BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Paper
ini akan membahas secara ringkas, bagaimana korupsi mempengaruhi
pembangunan ekonomi di Indonesia?. Strategi apa yang dapat dilakukan
untuk meminimalisir praktek korupsi tersebut?, dan bagaimana multiplier
effect bagi efesiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di Indonesia?.
Gaung
pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan
dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti
korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil
mamfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai
strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan
terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc,
Komisi Anti Korupsi (KPK). Peraturan perundang-undangan (legislation) yang
merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan
disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius
melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini.
Tebang
pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum
terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi
untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden
Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh
titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus
hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan
kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya,
dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus
program pembangunan ekonomi di Indonesia.
Memahami Makna Tindak Pidana Korupsi
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity System,
menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus
menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar
dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator –yang meletakkan
kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem
sosial-politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah
praktek korupsinya, apabila kehidupan sosial-politiknya tolerasi bahkan
memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga
tindakan pelanggaran hak asasi manusia, lanjut Pope. Menurut Dieter Frish,
mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan
memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara,
dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek
pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada
urgensi kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi
sosial-ekonomi tak pasti (uncertenly).
Ketidakpastian
ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis
yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi
dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar
yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment (ROI)
yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek
korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya
menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Dalam makalahnya, Salmi
juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry Campbell Black yang menjelaskan bahwa korupsi “ An
act done with an intent to give some advantage inconsistent with
official duty and the right of others. The act of an official or
fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or
character to procure some benefit for himself or for another person,
contrary to duty and the right of others.”
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1
menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia
mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto1,
Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang
korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah
korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari
korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi
memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa
dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata
tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan Almarhum
Prof. Dr. Mubaryanto, merupakan Guru Besar Universitas Gajah Mada, yang
mengabdikan dirinya pada pengkajian ekonomi rakyat melalui konsepsi
ekonomi pancasila, yang tetapi kini hingga akhir hayatnya. Dengan
penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi
dan nepotisme.
BAB II
KAJIAN TEORI
Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi
Korupsi
merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai
pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang
korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun
elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model
korupsi. Retorika anti korupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan
praktek tercela ini. Peraturan perundang-undang yang merupakan bagian
dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah, menjadi meaning less, apabila
tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan
perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak
ada recovery terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum.
Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang sedang terjadi. Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”,
merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang,
dimana peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik
oleh pemerintah, penguasa tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau
positif2.
Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan
terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek
korupsi melalui kelemahan perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang
bidang ekonomi. Hal
positif menurut Juwana, penggunaan dari UU oleh pemerintah adalah dalam
rangka memajukan kehidupan politik warga Negara, memperbaiki
perekonomian dan lain sebagainya.
Sementara
yang bersifat negative terjadi banyak di Negara berkembang yang
menganut pemerintahan otoriter atau dictatorial. UU dengan konsep ini
dijadikan semacam legitimasi bagi kekuasaan yang memunculkan istilah Rule by Law dalam pengertian negativedanbukanRuleofLaw.Hasil
analisis Hikmahanto Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas,
Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen
Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU
Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu
Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia
Dagang, UU Desain Industri dan banyak UU bidang ekonomi lainnya3.
Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki dimensi
kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan memberikan ruang
terhadap terjadinya praktek korupsi.
Fakta
yang terjadi menunjukkan bahwa Negara-negara industri tidak dapat lagi
menggurui Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui
korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik Negara maju dan berkembang.
Bahkan dalam bukunya “The Confesion of Economic Hit Man” John Perkin mempertegas
peran besar Negara adidaya seperti Amerika Serikat melalui lembaga
donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional menjerat
Negara berkembang seperti Indonesia dalam kubangan korupsi yang
merajalela dan terperangkap dalam hutang luar negeri yang luar biasa
besar, seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia saat itu. Hal ini
dilakukan dalam melakukan hegemoni terhadap pembangunan ekonomi di
Indonesia, dan berhasil.
Demokratisasi dan Metamorfosis Korupsi
Pergeseran
sistem, melalui tumbangnya kekuasaan icon orde baru, Soeharto. Membawa
berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokratisasi di Indonesia. Reformasi,
begitu banyak orang menyebut perubahan tersebut. Namun sayang reformasi
harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi
yang memang “Buble Lihat Makalah ,Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”,FH.UI. Gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat.
Namun,
apa mau dinyana rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lantunan
lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulut
para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi
tersentralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi atau desentralisasi
daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan keuangan daerah5, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signifikan.
Pergeseran
sistem yang penulis jelaskan, diamini oleh Susan Rose-Ackerman, yang
melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan demokratisasi dan pasar bebas
bukan satu-satunya alat penangkal korupsi, pergeseran pemerintah
otoriter ke pemerintahan demokratis tidak serta merta mampu menggusur
tradisi suap-menyuap. Korupsi ada di semua sistem sosial –feodalisme,
kapitalisme, komunisme dan sosialisme.
Dibutuhkan Law effort sebagai
mekanisme solusi sosial untuk menyelesaikan konflik kepentingan,
penumpuk kekayaan pribadi, dan resiko suap-menyuap. Harus ada tekanan
hukum yang menyakitkan bagi koruptor. Korupsi di Indonesia telah membawa
disharmonisasi politik-ekonomi-sosial, grafik pertumbuhan jumlah rakyat
miskin terus naik karena korupsi.
Dalam
kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan
dipelbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai
sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan
kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi
etika pribadi yang melandasi yang
lebih menyedihkan, kemunafikan anti korupsi lahir banyak di
kelompok-kelompok penjaga moral bangsa seperti Agamawan dan Pendidik.
Lihat saja korupsi di Departemen Agama, dan Departemen Pendidikan.
Bahkan kelompok-kelompok agama menjadi merupakan entitas paling munafik
terhadap praktek korupsi ini.
Lihat
UU tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah. Perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada
transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro
pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar
ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan
pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan
prioritas dan orientasi yang utama. Dan dua alasan ini menyeruak di
Indonesia, pelayanan publik tidak pernah termaksimalisasikan karena
praktik korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi.
BAB III
PEMBAHASAN
Korupsi dan Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi
Pada
paragraf awal penulis jelaskan bahwa korupsi selalu mengakibatkan
situasi pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak
menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang sehat. Sektor
swasta sulit memprediksi peluang bisnis dalam perekonomian, dan untuk
memperoleh keuntungan maka mereka mau tidak mau terlibat dalam
konspirasi besar korupsi tersebut. High cost economy harus
dihadapi oleh para pebisnis, sehingga para investor enggan masuk
menanamkan modalnya disektor riil di Indonesia, kalaupun investor
tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di sektor financial
di pasar uang. Salah satu elemen penting untuk merangsang pembangunan
sektor swasta adalah meningkatkan arus investasi asing (foreign direct investment).
Dalam konteks ini korupsi sering menjadi beban pajak tambahan atas
sektor swasta. Investor asing sering memberikan respon negatif terhadap
hali ini(high cost economy). Indonesia dapat mencapai tingkat investasi asing yang optimal, jika Indonesia terlebih dahulu meminimalisir high cost economy yang disebabkan oleh korupsi.
Praktek
korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi
alat efektif untuk meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk
menembus administrasi pemerintah dan saluran politik yang tertutup.
Ketegangan politik antara politisi dan birokrat biasanya efektif
diredakan melalui praktek korupsi yang memenuhi kepentingan pribadi
masing-masing. Pararel dengan pendapat Mubaryanto, yang mengatakan “Ada
yang pernah menyamakan penyakit ekonomi inflasi dan korupsi. Inflasi,
yang telah menjadi hiperinflasi tahun 1966, berhasil diatasi para
teknokrat kita. Sayangnya sekarang tidak ada tanda-tanda kita mampu dan
mau mengatasi masalah korupsi, meskipun korupsi sudah benar-benar
merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih bersifat teknis
sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah mengatasinya.
Sebaliknya korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik, sehingga
ilmu ekonomi sendirian tidak mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu
ekonomi malah cenderung tidak berani melawan korupsi karena dianggap
“tidak terlalu mengganggu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat
“lebih menggairahkan” pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi
barang-barang mewah, yang diproduksi. “Dunia usaha memang nampak lebih
bergairah jika ada korupsi”! Apapun alasannya, korupsi cenderung
menciptakan inefisiensi dan pemborosan sektor ekonomi selalu terjadi.
Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan nilai yang dikeluarkan,
ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi. GDP turun drastis,
nilai mata uang terus tergerus. Akibat efek multiplier dari korupsi
tersebut. Mubaryanto menjelaskan, Kunci dari pemecahan masalah korupsi
adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap
menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan
pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi
anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus
dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil
rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka
tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat.
Jika
sejak krisis multidimensi yang berawal dari krismon 1997/1998 ada
anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak
lagi pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan
ekonomi rakyat, maka ini berarti harus ada keadilan politik. Keadilan
ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia
karena tidak dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah
“aturan main” berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi
seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof dan ilmuwan-ilmuwan
sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara empirik-induktif, yaitu
selalu menggunakan data-data empirik dalam berargumentasi, tidak hanya
berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih dengan selalu mengacu pada
teori-teori Barat. Dengan berpikir empirik kesimpulan-kesimpulan
pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan
para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang
kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat banyak
warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan.
Negara
kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk
memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian
dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa
skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan
makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di
Negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Pembangunan
ekonomi sering dijadikan alasan untuk menggadaikan sumber daya alam
kepada perusahaan multinasional dan Negara adi daya yang didalamnya
telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi harta bagi
kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya.
Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi
atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah
reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak pengamat
ekonomi merupakan kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia,
sehingga pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik
bagi studi banyak ekonom dan pengamat politik di dunia. Kompleksitas
permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya
sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota
legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah
mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Pemerintah
daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi.
Namun, juga sering membuat makin parahnya high cost economy di
Indonesia, karena munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda
(peraturan daerah) yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan
daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak
sadar, karena praktek itulah, investor menahan diri untuk masuk ke
daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan
sedikit praktek korup. Akibat itu semua, kemiskinan meningkat karena
lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah
terhambat. Boro-boro memacu PAD.
Terdapat
beberapa bobot yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama,
faktor kelembagaan. Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, faktor sosial –
politik. Keempat, faktor ekonomi daerah. Kelima, faktor
ketenagakerjaan. Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan6,
dalam hal ini pemerintah daerah sebagi faktor penghambat terbesar bagi
investasi hal ini berarti birokrasi menjadi faktor penghambat utama bagi
investasi yang menyebabkan munculnya high cost economy yang
berarti praktek korupsi melalui pungutan-pungutan liar dan dana pelicin
marak pada awal pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah tersebut.
Dan
jelas ini menghambat tumbuhnya kesempatan kerja dan pengurangan
kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada
tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi
sosial-politik dominan menjadi hambatan bagi tumbuhnya investasi di
daerah7.
Pada tahun 2005 banyak daerah melakukan pemilihan kepala daerah
(Pilkada) secara langsung yang menyebabkan instabilisasi politik di
daerah yang membuat enggan para investor untuk menanamkan modalnya di
daerah. Dalam situasi politik seperti ini, investor lokal memilih
menanamkan modalnya pada ekspektasi politik dengan membantu pendanaan
kampanye calon-calon kepala daerah tertentu, dengan harapan akan
memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah
sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus
pembangunan ekonomi, justru hanya akan memperbesar pengeluaran
pemerintah (government expenditure) karena para investor hanya
mengerjakan proyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan output baru
diluar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur negara). Bahkan akan
berdampak pada investasi.Lihat harian Kompas, 13 juni 2006 ibid
diluar pengeluaran pemerintah, karena untuk meningkatkan PAD-nya mau
tidak mau pemerintah daerah harus menggenjot pendapatan dari pajak dan
retrebusi melalui berbagai Perda (peraturan daerah) yang menciptakan
ruang bagi praktek korupsi.
Titik tolak pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab munculnya high cost economy yang
melahirkan korupsi tersebut karena didukung oleh birokrasi yang
njelimet. Seharusnya titik tolak pemerintah daerah adalah pembangunan
ekonomi daerah dengan menarik investasi sebesar-besarnya dengan
merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka waktu
pengurusan dokumen usaha, serta membersihkan birokrasi dari praktek
korupsi. Peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), pengurangan jumlah
pengangguran dan kemiskinan pasti mengikuti.
Melawan Korupsi demi Pembangunan Ekonomi
Selain
menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghambat pengembangan
sistem pemerintahan demokratis. Korupsi memupuk tradisi perbuatan yang
menguntungkan diri sendiri atau kelompok, yang mengesampingkan
kepentingan publik. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan
rakyat lemah untuk menikmati pembangunan ekonomi, dan kualitas hidup
yang lebih baik. Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di
Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan
melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern
mengedepankan system tanggunggugat, dalam tatanan seperti ini harus
muncul pers yang bebas8 dengan
batas-batas undang-undang yang juga harus mendukung terciptanya tata
pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi. Demikian pula dengan
pengadilan. Pengadilan yang merupakan bagian dari tata pemerintahan,
yudikatif, tidak lagi menjadi hamba penguasa.
Namun, memiliki ruang kebebasan menegakkan kedaulatan hukum dan peraturan9.
Dengan demikian akan terbentuk lingkaran kebaikan yang memungkin
seluruh pihak untuk melakukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun,
konsep ini penulis akui sangat mudah dituliskan atau dikatakan daripada
dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk
membangun pilar-pilar bangunan integritas nasional yang melakukan
tugas-tugasnya secara efektif, dan berhasil menjadikan tindakan korupsi
sebagai perilaku yang beresiko sangat tinggi dengan hasil yang sedikit10. Konstruksi integritas nasional, ibarat Masjidil Aqsha yang
suci yang ditopang oleh pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor
auditor-negara dan swasta, ombudsman, media yang bebas dan masyarakat
sipil yang anti korupsi. Diatas bangunan nan suci itu ada pembangunan
ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih baik, tatanan hukum yang ideal,
kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang kokoh memayungi integritas
nasional dari rongrongan korupsi yang menghambat pembangunan yang
paripurna.
Dengan
asumsi pers yang bebas juga harus dibangun dari “kejujuran” yang anti
terhadap praktik korupsi, seperti suap dan tidak menjadikan posisinya
sebagai penekan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Di Indonesia kasus
pers seperti ini jamak. Hampir seluruh dimensi tata pemerintah Indonesia
memiliki kecenderungan perilaku korup. Harus ada revolusi besar untuk
melakukan perubahan signifikan yang men-delete kecenderungan tersebut.
Rancangan
peraturan perundang-undang yang menghukum “mati” dan ancaman berat
lainnya setidaknya bisa menjadi salah satu bentuk resiko tinggi
tersebut, dengan catatan penegak hukum konsisiten terhadap aturan hukum
tersebut. Shock therapy yang dilakukan pemerintah Cina rasanya perlu ditiru. Dibutuhkan political will dari
banyak pihak dalam tata pemerintah untuk mewujudkan integritas nasional
ini. Kebijakan ekstrim dan radikal diperlukan untuk melawan praktek
korupsi di Indonesia. Misalnya; mengambil alih seluruh harta hasil
korupsi, menghukum koruptor untuk melakukan pengabdian dalam jangka
waktu panjang (seumur hidup) di daerah terpencil untuk memberikan
pelatihan dan pendidikan di daerah terpencil dengan pengawasan ketat
aparat hukum, karena biasanya para koruptor ini memiliki pendidikan dan
keahlian mumpuni dibidangnya.
Kedua, hal yang paling sulit dan fundamental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will).
Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya sekedar kemauan para politisi
dan orang-orang yang berkecimpung dalam ranah politik. Namun, ada yang
lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang
termanifestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan
sosial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen dan
strata sosial. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara
mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tangggung jawab untuk
mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai
kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik.
Biasanya
resiko politik meruapakan hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi
terhadap pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran
masyarakat sipil penting?. Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis,
para politisi dan pejabat Negara tergantung dengan suara masyarakat
sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik dari masyarakat sipil-lah yang
memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk menahan diri dari praktek
korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik akan
memilih pimpinan (politisi) dan pejabat Negara yang memiliki integritas
diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah
pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang
cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa
dapat diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi
korupsi.
Ketika
Konstruksi Integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan
sosial-politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat
distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah
untuk memberikan pelayanan publik yang memadai.masyarakat sipil pula
yang memberi ruang dan menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang
potensial. Masyarakat melalui para investor akan memutuskan melakukan
investasi yang sebesar-besarnya karena hambatan ketidakpastian telah
hilang oleh bangunan integritas nasional yang kokoh. Jumlah output
barang dan jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim investasi di
Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang njelimet
dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali
oleh tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil.
Para
investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan ekspektasi keuntungan
tinggi. Sehingga dengan begitu pembangunan ekonomi akan memberikan
dampak langsung pada pengurangan jumlah pengangguran dan masyarakat
miskin, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) masing-masing daerah,
peningkatan GDP dan pemerintah akan mampu membangun sisten jaminan
sosial warganya melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan
kesehatan yang memberikan dampak langsung pada peningkatan kecerdasan
masyarakat sipil.
BAB IV
PENUTUP
Merangkai
kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata
dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan
keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang
menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di
Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak
pernah kunjung selesai, karena
pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “.
Pemberantasan
korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh
menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil
untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya
penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.
DAFTAR PUSTAKA
• Akhiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE,UI.
• Harian Kompas, 13 juni 2006, Gramedia
• Mubaryanto, Artikel, “ Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004
• Jeremy Pope,” Confronting Corruption: The Element of National Integrity System”, Transparency International, 2000.
• Robert A Simanjutak,” Implementasi Desentralisasi Fiskal:Problema, Prospek, dan Kebijakan”, LPEM UI, 2003
• Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
• Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
.Sudjijono, Budi.2008. Resesi Dunia dan Ekonomi Indonesia.Jakarta: Golden Terayon Press
referensi : http://kumpulanilmuekonomi.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar